http://forum-haksesuk.blogspot.com/2008/04/isu-korupsi-kian-bersahabat-di-kuping.html
FORUM-HAKSESUK, SEXTA-FEIRA, 11 DE ABRIL DE 2008
ISU KORUPSI KIAN BERSAHABAT DI KUPING MASYARAKAT TIMOR LESTE; Sejauh mana tingkat pemberantasan tindak pidana korupsi di TL?
Lagi-lagi isu tindak pidana korupsi menggiur di kalangan masyarakat. Dugaan komisi independent dalam pemberatasaan korupsi, Provedoria Dos Deretos Humos e Da Justica (PDHJ), yang tengah dalam tahap investigasi terhadap para mantan pejabat yang mendapat kursi kejayaan di era pimimpinan mantan PM Mari Alkatiri terus mengalir. Hal ini terbukti, mantan Duta Besar Timor Leste untuk Indonesia diduga melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan masyarakat, pada waktu masih menjabat sebagai wakil TL di Jakarta. Merupakan salah satu indikasi bahwa kebejatan ini tidak akan pernah musnah seketika. Sekalipun TL tergolong negara yang cukup muda di kawasan ASIA, tapi tingkat praktek perlakuan korupsi tergolong cukup hebat, ketimbang negara lain. Toksis korupsi yang ditularkan oleh Indonesia nampaknya akan merambah ke mana-mana, bahkan mendarah-daging, bila pemerintah lamban menanganinya. Jangan sampai TL setelah puluhan tahun berdiri menjadi sebuah negara RDTL tapi rakyatnya masih bernaung di bawah kolom jembatan, praktek premanisme dan pengemisan di mana-mana kerana korupsi. Tentu butuh kepiawaian dan kinerja masyarakat dan pemerintah lewat komisi independent dalam pemberantasan korupsi, PDHJ yang benar-benar sinergis dan solid. Para pengamat tertentu menilai, praktek perlakuan tindak pidana korupsi di negara setengah pulau ini akan terus menggerogoti wajah dan jiwa oknum birokrat tertentu, yang terus merasa serba tidak kecukupan akan uang rakyat yang diterima setiap bulan. Perkembangan teknologi dan melajunya alur modernisasi yang marak, meski tidak begitu dirasakan oleh rakyat kita, seolah membuat tuntutan dan kebutuhan para pejabat negara dan pejabat pemerintahan terus semakin sulit dicermati dengan akal sehat.
INDEX PERCEPTION OF CORRUPTION TAHUN 2007; jadikan sebagai tolok ukur
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Timor Leste tahun lalu yang hanya mengantongi 2,6 dari total 180 negara yang disurvei, boleh menjadi tolok ukur pemerintah lewat komisi independent dalam pemberantasan korupsi, PDHJ dalam aplikasi dan performa di lapangan. Indeks persepsi ini tergolong amat sangat rendah, bila dibandingkan dengan negara berkembangan dan maju seperti Malaysia, Thailand, Singapore. Tikus-tikus kakap yang mulai beraksi ini akan menurunkan Indeks Persepsi Korupsi TL pada tahun ini. Ini dinilai bahwa, pengungkapan kasus korupsi di TL semakin hari semakin melangit. Seperti pernah disebutkan ole penulis di artikel terdahulnya tentang korupsi bahwa, nilai IPK ini hanya berpatok pada tindak pidana korupsi yang menyangkut transparansi ekonomi nasional di kalangan birokrat. Sehingga, praktek korupsi recehan di bidang perpajakan dan pegawai rendahan di tiap-tiap instansi pemerintah/swasta yang dinilai ada unsur kerugian negara seolah ditanggalkan. Padahal sebenarnya keberhasilan pemberantasan korupsi bukan dinilai dari berapa jumlah koruptor yang dipenjara atau berapa skor IPK. Lebih dari itu, seharusnya pemberantasan korupsi membawa berkah bagi masyarakat; pertumbuhan ekonomi meningkat, meningkatnya public trust terhadap institusi-institusi demokrasi dan adanya kepastian hukum. Sehingga daya tarik para investor asing untuk menanamkan saham di TL semakin nyata, bukan iming-iming lagi. Karena negara bersih dari praktek korupsi ini justru menciptakan kompetisi penanaman saham yang sehat.
KORUPSI DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Timbul suatu pertanyaan, bahwa bagaimana kita bisa mengatakan dalam setiap dollar ($) keuangan milik negara termasuk juga keuagan milik masyarakat? Karena keuangan negara ada juga yang bersumber dari masyarakat dan akan dikembalikan ke masyarakat lagi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jadi bilamana uang itu dikorup, maka itu berarti ada hak rakyat yang tidak dikembalikan dan tidak jadi dinikmati karena terjadi korupsi. Dalam konteks pengertian inilah adanya koorelasi antara HAM dan korupsi, (Prof. DR. Muladi, SH.,Guru Besar Hukum Pidana UNDIP, Semarang, Indonesia.,hal. 154). Dari pendapat Prof. Muladi ini artinya, bila terjadi korupsi di situ terjadi juga pelanggaran HAM.
Jira kita cermati perilaku korupsi yang kiang memanas di negara kita, mungkin sudah tiba waktunya kita pertegas dengan strategi dan trik pemberantasan korupsi yang tidak hanya sekedar sublimasi. Daripada sekedar gonta-ganti kebijakan yang justru meciptakan ketidakpastian hukum. Tidak ada salahnya, kalau kita harus belajar dari negara-negara yang dulu perekonomiannya anjlok karena ditimpa krisis dan perilaku korupsi, hal mana telah bangkit dan menjadi negara yang kaya dan maju pesat seperti Korea Selatan. Negeri China yang dulunya dengan perilaku korupsi yang marak akhirnya tertanggulangi oleh jurus jitunya PM Zhu Rongji yang sangat terkenal dengan konsepnya “pesan 100 peti mayat”. Pesanan 100 peti mayat ini 99 untuk para koruptor kakap dan satu untuk dirinya bila terbukti korupsi. Dengan jurus jitunya ini, China menjadi lahan investasi yang subur bagi para inverstor asing, (Kompas, 14 Juni 2004). Pada konteks ini, China memang menganut sistem hukuman mati, sehingga konsep “pesan 100 peti mayat” layak diterapkan di negeri Bambu Runcing itu, namun sebaliknya negara kita tidak menganut sistem hukuman mati, seperti tersurat dalam Pasal 32, ayat (1), UUD. Tapi setidaknya dapat dijadikan sebagai panduan dan referensi kepustakaan yang akurat dalam memberantas korupsi di negera kita.
Begitu kacaunya di TL bahwa, sekalipun korupsi itu sudah diketahui sangat membahayakan masyarakat dan negara, tetapi masih saja korupsi menjalar ke mana-mana. Political will pemerintah melalui lembaga independent seperti PDHJ nampaknya secara konkrit masih terlihat kabur
KORUPSI; Pidana & Non-Pidana
Dalam penanganan tindak pidana korupsi harus dibedakan dengan jelas antara korupsi secara pidana dan korupsi non-pidana. Di sini akan tercermin unsur keperdataan. Sehingga, korupsi non-pidana, tentu seorang pelaku dituntut secara perdata untuk mengembalikan uang negara yang dirampasnya, plus ganti-rugi imateriil yang harus dibayar sesuai putusan hakim di Pengadilan. Selanjutnya korupsi pidana; adalah seorang pelaku bila terbukti korupsi berarti telah melakukan suatu kejahatan melawan negara, karena hukum pidana korupsi adalah hukum yang mengatur kepentingan umum (orang, korporasi dengan negara). Sehingga pelaku tindak pidana di sini selain dituntut secara perdata, juga harus dituntut secara pidana, berdasarkan fakta yang dibuktikan oleh seorang Hakim di Pengadilan.
Kesimpulan
Korupsi di negara kita bukan hanya berskala merusak pundi-pundi perekonomian nasional dan masyarakat tentunya. Tapi sudah memobroki sendi-sendi moral dan etika prinsip pemerintahan yang baik, sekalipun negara kita masih tergolong cukup mudah. Oleh kerannya, sudah saatnya kalangan akademisi, komunitas sosial, NGO, dan praktisi hukum bersama dengan semua element bangsa menunjukkan kebranian membangun dan merevitalisasi kultur hukum baru berdasarkan tuntutan bangsa ini, sebaimana cita-cita mewujudkan negari Sun-rise menjadi negara yang benar-benar lepas dari jajahan kondisi ekonomi nasional, sehingga kemerdekaan TL secara de yuri dan de facto dapat mewujudkan kepastian hukum yang jelas.
Hoi, keta liman naruk nafatin. Povu nia osan halo ba povu nia nesesidade. Povu terus uluk no to’t ohin loron mo’os sei terus. Karik sei terus ba nafatin? Espera katak lae. Ita hein!
SAY NO TO CORRUPTION. Merci beaucope.
J. MONTEIRO (jmonteiro87@yahoo.com)
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTR IV)
UNIVERSITAS NAROTAMA, SURABAYA, INDONESIA
publicada por FORUM HAKSESUK @ 10:19 AM e-mail: fhaksesuk@gmail.com
FORUM-HAKSESUK, SEXTA-FEIRA, 11 DE ABRIL DE 2008
ISU KORUPSI KIAN BERSAHABAT DI KUPING MASYARAKAT TIMOR LESTE; Sejauh mana tingkat pemberantasan tindak pidana korupsi di TL?
Lagi-lagi isu tindak pidana korupsi menggiur di kalangan masyarakat. Dugaan komisi independent dalam pemberatasaan korupsi, Provedoria Dos Deretos Humos e Da Justica (PDHJ), yang tengah dalam tahap investigasi terhadap para mantan pejabat yang mendapat kursi kejayaan di era pimimpinan mantan PM Mari Alkatiri terus mengalir. Hal ini terbukti, mantan Duta Besar Timor Leste untuk Indonesia diduga melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan masyarakat, pada waktu masih menjabat sebagai wakil TL di Jakarta. Merupakan salah satu indikasi bahwa kebejatan ini tidak akan pernah musnah seketika. Sekalipun TL tergolong negara yang cukup muda di kawasan ASIA, tapi tingkat praktek perlakuan korupsi tergolong cukup hebat, ketimbang negara lain. Toksis korupsi yang ditularkan oleh Indonesia nampaknya akan merambah ke mana-mana, bahkan mendarah-daging, bila pemerintah lamban menanganinya. Jangan sampai TL setelah puluhan tahun berdiri menjadi sebuah negara RDTL tapi rakyatnya masih bernaung di bawah kolom jembatan, praktek premanisme dan pengemisan di mana-mana kerana korupsi. Tentu butuh kepiawaian dan kinerja masyarakat dan pemerintah lewat komisi independent dalam pemberantasan korupsi, PDHJ yang benar-benar sinergis dan solid. Para pengamat tertentu menilai, praktek perlakuan tindak pidana korupsi di negara setengah pulau ini akan terus menggerogoti wajah dan jiwa oknum birokrat tertentu, yang terus merasa serba tidak kecukupan akan uang rakyat yang diterima setiap bulan. Perkembangan teknologi dan melajunya alur modernisasi yang marak, meski tidak begitu dirasakan oleh rakyat kita, seolah membuat tuntutan dan kebutuhan para pejabat negara dan pejabat pemerintahan terus semakin sulit dicermati dengan akal sehat.
INDEX PERCEPTION OF CORRUPTION TAHUN 2007; jadikan sebagai tolok ukur
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Timor Leste tahun lalu yang hanya mengantongi 2,6 dari total 180 negara yang disurvei, boleh menjadi tolok ukur pemerintah lewat komisi independent dalam pemberantasan korupsi, PDHJ dalam aplikasi dan performa di lapangan. Indeks persepsi ini tergolong amat sangat rendah, bila dibandingkan dengan negara berkembangan dan maju seperti Malaysia, Thailand, Singapore. Tikus-tikus kakap yang mulai beraksi ini akan menurunkan Indeks Persepsi Korupsi TL pada tahun ini. Ini dinilai bahwa, pengungkapan kasus korupsi di TL semakin hari semakin melangit. Seperti pernah disebutkan ole penulis di artikel terdahulnya tentang korupsi bahwa, nilai IPK ini hanya berpatok pada tindak pidana korupsi yang menyangkut transparansi ekonomi nasional di kalangan birokrat. Sehingga, praktek korupsi recehan di bidang perpajakan dan pegawai rendahan di tiap-tiap instansi pemerintah/swasta yang dinilai ada unsur kerugian negara seolah ditanggalkan. Padahal sebenarnya keberhasilan pemberantasan korupsi bukan dinilai dari berapa jumlah koruptor yang dipenjara atau berapa skor IPK. Lebih dari itu, seharusnya pemberantasan korupsi membawa berkah bagi masyarakat; pertumbuhan ekonomi meningkat, meningkatnya public trust terhadap institusi-institusi demokrasi dan adanya kepastian hukum. Sehingga daya tarik para investor asing untuk menanamkan saham di TL semakin nyata, bukan iming-iming lagi. Karena negara bersih dari praktek korupsi ini justru menciptakan kompetisi penanaman saham yang sehat.
KORUPSI DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Timbul suatu pertanyaan, bahwa bagaimana kita bisa mengatakan dalam setiap dollar ($) keuangan milik negara termasuk juga keuagan milik masyarakat? Karena keuangan negara ada juga yang bersumber dari masyarakat dan akan dikembalikan ke masyarakat lagi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jadi bilamana uang itu dikorup, maka itu berarti ada hak rakyat yang tidak dikembalikan dan tidak jadi dinikmati karena terjadi korupsi. Dalam konteks pengertian inilah adanya koorelasi antara HAM dan korupsi, (Prof. DR. Muladi, SH.,Guru Besar Hukum Pidana UNDIP, Semarang, Indonesia.,hal. 154). Dari pendapat Prof. Muladi ini artinya, bila terjadi korupsi di situ terjadi juga pelanggaran HAM.
Jira kita cermati perilaku korupsi yang kiang memanas di negara kita, mungkin sudah tiba waktunya kita pertegas dengan strategi dan trik pemberantasan korupsi yang tidak hanya sekedar sublimasi. Daripada sekedar gonta-ganti kebijakan yang justru meciptakan ketidakpastian hukum. Tidak ada salahnya, kalau kita harus belajar dari negara-negara yang dulu perekonomiannya anjlok karena ditimpa krisis dan perilaku korupsi, hal mana telah bangkit dan menjadi negara yang kaya dan maju pesat seperti Korea Selatan. Negeri China yang dulunya dengan perilaku korupsi yang marak akhirnya tertanggulangi oleh jurus jitunya PM Zhu Rongji yang sangat terkenal dengan konsepnya “pesan 100 peti mayat”. Pesanan 100 peti mayat ini 99 untuk para koruptor kakap dan satu untuk dirinya bila terbukti korupsi. Dengan jurus jitunya ini, China menjadi lahan investasi yang subur bagi para inverstor asing, (Kompas, 14 Juni 2004). Pada konteks ini, China memang menganut sistem hukuman mati, sehingga konsep “pesan 100 peti mayat” layak diterapkan di negeri Bambu Runcing itu, namun sebaliknya negara kita tidak menganut sistem hukuman mati, seperti tersurat dalam Pasal 32, ayat (1), UUD. Tapi setidaknya dapat dijadikan sebagai panduan dan referensi kepustakaan yang akurat dalam memberantas korupsi di negera kita.
Begitu kacaunya di TL bahwa, sekalipun korupsi itu sudah diketahui sangat membahayakan masyarakat dan negara, tetapi masih saja korupsi menjalar ke mana-mana. Political will pemerintah melalui lembaga independent seperti PDHJ nampaknya secara konkrit masih terlihat kabur
KORUPSI; Pidana & Non-Pidana
Dalam penanganan tindak pidana korupsi harus dibedakan dengan jelas antara korupsi secara pidana dan korupsi non-pidana. Di sini akan tercermin unsur keperdataan. Sehingga, korupsi non-pidana, tentu seorang pelaku dituntut secara perdata untuk mengembalikan uang negara yang dirampasnya, plus ganti-rugi imateriil yang harus dibayar sesuai putusan hakim di Pengadilan. Selanjutnya korupsi pidana; adalah seorang pelaku bila terbukti korupsi berarti telah melakukan suatu kejahatan melawan negara, karena hukum pidana korupsi adalah hukum yang mengatur kepentingan umum (orang, korporasi dengan negara). Sehingga pelaku tindak pidana di sini selain dituntut secara perdata, juga harus dituntut secara pidana, berdasarkan fakta yang dibuktikan oleh seorang Hakim di Pengadilan.
Kesimpulan
Korupsi di negara kita bukan hanya berskala merusak pundi-pundi perekonomian nasional dan masyarakat tentunya. Tapi sudah memobroki sendi-sendi moral dan etika prinsip pemerintahan yang baik, sekalipun negara kita masih tergolong cukup mudah. Oleh kerannya, sudah saatnya kalangan akademisi, komunitas sosial, NGO, dan praktisi hukum bersama dengan semua element bangsa menunjukkan kebranian membangun dan merevitalisasi kultur hukum baru berdasarkan tuntutan bangsa ini, sebaimana cita-cita mewujudkan negari Sun-rise menjadi negara yang benar-benar lepas dari jajahan kondisi ekonomi nasional, sehingga kemerdekaan TL secara de yuri dan de facto dapat mewujudkan kepastian hukum yang jelas.
Hoi, keta liman naruk nafatin. Povu nia osan halo ba povu nia nesesidade. Povu terus uluk no to’t ohin loron mo’os sei terus. Karik sei terus ba nafatin? Espera katak lae. Ita hein!
SAY NO TO CORRUPTION. Merci beaucope.
J. MONTEIRO (jmonteiro87@yahoo.com)
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM (SEMESTR IV)
UNIVERSITAS NAROTAMA, SURABAYA, INDONESIA
publicada por FORUM HAKSESUK @ 10:19 AM e-mail: fhaksesuk@gmail.com
No comments:
Post a Comment